Latar Belakang Masalah
Pajak memiliki peran sebagai tulang punggung dalam penerimaan negara. Tahun 2009, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp. 565,77 Trilyun atau 97,99% dari target penerimaan pajak dalam APBNP. Meski penerimaan pajak dari tahun ke tahun terus meningkat, akan tetapi tax ratio kita masih lebih rendah dari pada negara-negara lain. Saat ini Indonesia memiliki rasio pajak terendah kedua setelah Myanmar diantara negara-negara Asean. Rata-rata rasio pajak yang dimiliki Indonesia semenjak 1985-1999 adalah 11,31%, jauh di bawah Singapura (22,24%), Malaysia (20,17%), Thailand (17,28%) dan Filipina (14%) (http://www.detikfinance.com).
Langkah yang dilakukan Ditjen Pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak dan tax ratio adalah dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Intensifikasi pajak adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan cara memperluas basis pajak. Misalnya dengan memperluas obyek pajak. Ekstensifikasi pajak adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah wajib pajak.
Dalam rangka ekstensifikasi wajib pajak, Menteri Keuangan telah menargetkan bahwa pada tahun 2013 jumlah wajib pajak terdaftar mencapai 25 juta. Berbagai langkah telah diambil untuk meningkatkan jumlah wajib pajak baik melalui penerbitan peraturan perundang-undangan maupun langkah terobosan lain. Akan tetapi ditengah kondisi perekonomian yang tidak stabil, masyarakat merasa kewajiban untuk membayar pajak sangat memberatkan. Sehingga mereka tidak mudah untuk dihimbau agar mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Belum lagi jika mereka mengetahui kewajiban-kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. Termasuk apabila dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan dikukuhkan sebagai PKP mereka harus mempunyai sistem pembukuan yang lebih baik. Padahal budaya pengusaha kita selama ini tidak terlalu memikirkan pembukuan. Apalagi jika harus membuat faktur pajak.
Pemerintah menyadari hal ini dengan menerbitkan aturan tentang batasan pengusaha kecil. Dengan batasan ini, masyarakat yang termasuk pengusaha kecil tidak dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sampai dengan saat ini, nilai batasan Pengusaha kecil yang berlaku sebesar Rp. 600.000.000,- . Hal ini berarti bahwa jika seorang pengusaha memperoleh omset rata-rata sehari sebesar Rp. 1.667.000,- maka mereka sudah wajib untuk dikukuhkan sebagai PKP. Di saat ini dengan adanya inflasi atas seluruh komoditi, omset sehari sebesar Rp. 1.667.000,- tidak terlalu susah untuk dicapai oleh para penjual eceran. Hal ini diduga akan menimbulkan resistensi tersendiri bagi mereka untuk mendaftarkan diri menjadi wajib pajak.
Dari latar belakang tersebut diatas, rumusan permasalahannya adalah dengan batasan pengusaha kecil yang berlaku saat ini akan menimbulkan resistensi bagi masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak sehingga rencana/target yang telah ditentukan dalam tahun 2013 sulit dicapai. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang nilai batasan pengusaha kecil yang seharusnya berlaku saat ini.
Karakteristik PPN
Karakteristik PPN yang berlaku di Indonesia (Resmi, 2008: 2-3) adalah sebagai berikut:
1. Pajak tidak langsung
Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan ke pihak lain. Tanggung jawab pembayaran pajak yang terutang berada pada pihak yang menyerahkan barang atau jasa, sedangkan pihak yang menanggung beban pajak berada pada penanggung pajak (pihak yang memikul beban pajak)
2. Pajak objektif
Timbulnya kewajiban membayar pajak sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif pajak tidak dipertimbangkan.
3. Multistage Tax
PPN dikenakan secara bertahap pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi (dari pabrikan sampai ke peritel).
4. Nonkumulatif
PPN tidak bersifat kumulatif (nonkumulatif) meskipun memiliki karakteristik multistage tax karena PPN mengenal adanya mekanisme pengkreditan pajak masukan. Oleh karena itu, PPN yang dibayar bukan unsur dari harga pokok barang atau jasa.
5. Tarif Tunggal
PPN di Indonesia hanya mengenal satu jenis tarif (single tariff), yaitu sepuluh persen untuk penyerahan dalam negeri dan nol persen untuk penyerahan ekspor.
6. Credit Method/Invoice Method/Indirect Substraction Method
Metode ini mengandung pengertian bahwa pajak yang terutang diperoleh dari hasil pengurangan pajak yang dipungut atau dikenakan pada saat penyerahan barang atau jasa (Pajak Keluaran) dengan pajak yang dibayar pada saat pembelian barang atau penerimaan jasa (Pajak Masukan).
7. Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri
Atas impor Barang Kena Pajak (BKP) dikenakan PPNsedangkan atas ekspor BKP atau JKP tidak dikenakan PPN. Prinsip ini menggunakan prinsip tempat tujuan (destination principle), yaitu pajak dikenakan ditempat barang atau jasa akan dikonsumsi.
8. Consumption Type Value Added Tax (VAT)
Dalam PPN di Indonesia, Pajak Masukan atas pembelian dan pemeliharaan barang modal dapat dikreditkan
Pengusaha Kena Pajak
Berdasarkan pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang PPN dan PPnBM. Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Pengusaha Kecil
Menurut pasal 3A ayat 1a dan 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, batasan pengusaha kecil ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 yang berlaku sejak 1 April 2010, pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya. Pengusaha kecil dapat memilih dikukuhkan sebagai PKP.
Sebelumnya batasan pengusaha kecil sudah ditetapkan menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 yang berlaku sejak 1 Januari 2001, dimana batasan pengusaha kecil adalah pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak lebih dari Rp. 360.000.000,00 atau menyerahkan Jasa Kena Pajak tidak lebih dari Rp. 180.000.000,00. Kemudian diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 571/KMK.03/2003 yang berlaku sejak 1 Januari 2004, dimana batasan pengusaha kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP tidak lebih dari RP. 600.000.000,00.
Jika dilihat secara historis, nilai batasan pengusaha kecil mengalami peningkatan cukup signifikan hanya dalam waktu tiga tahun yaitu dari tahun 2001 ke tahun 2004. Akan tetapi sampai dengan tahun ini, peraturan terbaru tentang batasan pengusaha kecil masih sebesar Rp. 600.000.000,00.
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
Terkait dengan batasan pengusaha kecil, perlu di lihat juga aturan tentang pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi PKP yang menurut Undang-undang PPh memilih dikenakan pajak dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Pertimbangan diterbitkannya ketentuan ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi PKP yang belum mempunyai sistem pembukuan yang baik sehingga hanya diwajibkan melakukan pencatatan saja. Berikut adalah tabel aturan yang pernah berlaku.
No | Nomor Peraturan | Tanggal Berlaku | Nilai omset |
1. | KMK. Nomor 594/KMK.04/1994 | 1-1-1995 | 600.000.000,- |
2. | KMK. Nomor 553/KMK.04/2000 | 1-1-2001 | 600.000.000,- |
3. | KMK. Nomor 252/KMK.03/2002 | 1-1-2002 | 600.000.000,- |
4. | PMK. Nomor 45/PMK.03/2008 | 1-1-2008 | 1.800.000.000,- |
5. | PMK. Nomor 74/PMK.03/2010 | 1-4-2010 | 1.800.000.000,- |
Pada saat besarnya omset PKP yang boleh menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan adalah Rp. 600.000.000,-, batasan pengusaha kecil yang diterapkan sebesar Rp. 360.000.000,- untuk penyerahan BKP dan Rp. 180.000.000,- untuk penyerahan JKP diterapkan per 1 Januari 2001,. Kemudian batasan pengusaha kecil diubah sebesar Rp. 600.000.000,-. Pada saat besarnya omset PKP yang boleh menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan berubah menjadi Rp. 1.800.000.000,-, nilai batasan pengusaha kecil yang diterapkan tetap tidak berubah. Seharusnya dengan menggunakan asumsi yang sama dengan penentuan besarnya omset PKP yang boleh menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan, nilai batasan pengusaha kecil juga mengalami peningkatan.
Benchmark Batasan PKP
Untuk mengetahui batasan pengusaha kecil yang seharusnya berlaku saat ini perlu melakukan perbandingan (benchmark) dengan negara-negara lain yang menerapkan Value Added Tax (VAT). Di Negara-negara yang menerapkan VAT ternyata juga menetapkan batasan PKP (VAT threshold). Berikut adalah batasan PKP Negara-negara lain (http://www.tmf-vat.com).
NO | NEGARA | VAT THRESHOLD | KURS KMK (No. 10/KM.11/2010) | |
| RUPIAH | |||
1 | INDONESIA | 600.000.000 | | |
2 | INGGRIS | £70,000 | 973.933.100 | 13913.33 |
3 | JEPANG | YEN 10,000,000 | 968.782.000 | 9687.82/100 YEN |
4 | JERMAN | € 100,000 | 1.226.141.000 | 12261.41 |
5 | ITALY | € 35,000 | 429.149.350 | 12261.41 |
6 | PERANCIS | € 100,000 | 1.226.141.000 | 12261.41 |
7 | AUSTRIA | € 100,000 | 1.226.141.000 | 12261.41 |
8 | BELGIA | € 35,000 | 429.149.350 | 12261.41 |
10 | NETHERLANDS | € 100,000 | 1.226.141.000 | 12261.41 |
11 | SPANYOL | € 35,000 | 429.149.350 | 12261.41 |
12 | CHINA*) | CNY 800,000 CNY500,000 | 1.056.912.000 660.570.000 | 1321.14 |
*) VAT Threshold di China dibagi dua, yaitu untuk pengusaha yang memproduksi barang sebesar CNY500,000 sedangkan untuk pengusaha retail sebesar CNY800,000
Dari perbandingan dengan negara-negara lain yang menerapkan VAT, nilai batasan Pengusaha Kecil yang ditetapkan di Indonesia masih terlalu rendah. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian terhadap nilai batasan Pengusaha Kecil di Indonesia.
Penghitungan batasan Pengusaha Kecil.
Untuk menentukan berapa batasan pengusaha kecil yang seharusnya berlaku saat ini, perlu memperhatikan besaran inflasi yang terjadi sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009. Alasan menggunakan data inflasi sebagai data penyesuai karena yang akan ditentukan adalah nilai batasan omset pengusaha dimana salah satu faktor yang mempengaruhi adalah inflasi yang terjadi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi yang terjadi mulai 1 Januari 2004 sampai dengan 1 Januari 2010 adalah 50,54%. Dengan menggunakan angka inflasi ini dapat dihitung nilai batasan pengusaha kecil saat ini adalah Rp. 600.000.000,00 (1 + 50,54%) = Rp. 903.240.000,00
Kesimpulan
Berdasarkan perbandingan (benchmark) dengan negara-negara lain yang menerapkan VAT dan laju inflasi yang tinggi sejak Januari 2004, batasan pengusaha kecil yang berlaku saat ini dinilai sangat rendah dan memberatkan pengusaha kecil.
Saran
Batasan pengusaha kecil seharusnya disesuaikan menjadi Rp. 903.240.000,00 sehingga tidak menimbulkan resistensi masyarakat untuk mendaftarkan diri menjadi wajib pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Resmi, Siti,2008, Perpajakan: Teori dan Kasus, Edisi Keempat, Salemba Empat, Jakarta
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=03¬ab=3
http://www.detikfinance.com/read/2005/01/03/145427/266283/4/ekonomi/index.html
http://www.bjreview.com.cn/business/txt/2009-08/03/content_210354.htm
-----------, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
-----------, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai
-----------, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai
-----------, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak