Senin, 14 Juni 2010

RESISTENSI MASYARAKAT TERHADAP BATASAN PENGUSAHA KECIL

Latar Belakang Masalah

Pajak memiliki peran sebagai tulang punggung dalam penerimaan negara. Tahun 2009, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp. 565,77 Trilyun atau 97,99% dari target penerimaan pajak dalam APBNP. Meski penerimaan pajak dari tahun ke tahun terus meningkat, akan tetapi tax ratio kita masih lebih rendah dari pada negara-negara lain. Saat ini Indonesia memiliki rasio pajak terendah kedua setelah Myanmar diantara negara-negara Asean. Rata-rata rasio pajak yang dimiliki Indonesia semenjak 1985-1999 adalah 11,31%, jauh di bawah Singapura (22,24%), Malaysia (20,17%), Thailand (17,28%) dan Filipina (14%) (http://www.detikfinance.com).

Langkah yang dilakukan Ditjen Pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak dan tax ratio adalah dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Intensifikasi pajak adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan cara memperluas basis pajak. Misalnya dengan memperluas obyek pajak. Ekstensifikasi pajak adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah wajib pajak.

Dalam rangka ekstensifikasi wajib pajak, Menteri Keuangan telah menargetkan bahwa pada tahun 2013 jumlah wajib pajak terdaftar mencapai 25 juta. Berbagai langkah telah diambil untuk meningkatkan jumlah wajib pajak baik melalui penerbitan peraturan perundang-undangan maupun langkah terobosan lain. Akan tetapi ditengah kondisi perekonomian yang tidak stabil, masyarakat merasa kewajiban untuk membayar pajak sangat memberatkan. Sehingga mereka tidak mudah untuk dihimbau agar mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Belum lagi jika mereka mengetahui kewajiban-kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. Termasuk apabila dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan dikukuhkan sebagai PKP mereka harus mempunyai sistem pembukuan yang lebih baik. Padahal budaya pengusaha kita selama ini tidak terlalu memikirkan pembukuan. Apalagi jika harus membuat faktur pajak.

Pemerintah menyadari hal ini dengan menerbitkan aturan tentang batasan pengusaha kecil. Dengan batasan ini, masyarakat yang termasuk pengusaha kecil tidak dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sampai dengan saat ini, nilai batasan Pengusaha kecil yang berlaku sebesar Rp. 600.000.000,- . Hal ini berarti bahwa jika seorang pengusaha memperoleh omset rata-rata sehari sebesar Rp. 1.667.000,- maka mereka sudah wajib untuk dikukuhkan sebagai PKP. Di saat ini dengan adanya inflasi atas seluruh komoditi, omset sehari sebesar Rp. 1.667.000,- tidak terlalu susah untuk dicapai oleh para penjual eceran. Hal ini diduga akan menimbulkan resistensi tersendiri bagi mereka untuk mendaftarkan diri menjadi wajib pajak.

Dari latar belakang tersebut diatas, rumusan permasalahannya adalah dengan batasan pengusaha kecil yang berlaku saat ini akan menimbulkan resistensi bagi masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak sehingga rencana/target yang telah ditentukan dalam tahun 2013 sulit dicapai. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang nilai batasan pengusaha kecil yang seharusnya berlaku saat ini.

Karakteristik PPN

Karakteristik PPN yang berlaku di Indonesia (Resmi, 2008: 2-3) adalah sebagai berikut:

1. Pajak tidak langsung

Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan ke pihak lain. Tanggung jawab pembayaran pajak yang terutang berada pada pihak yang menyerahkan barang atau jasa, sedangkan pihak yang menanggung beban pajak berada pada penanggung pajak (pihak yang memikul beban pajak)

2. Pajak objektif

Timbulnya kewajiban membayar pajak sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif pajak tidak dipertimbangkan.

3. Multistage Tax

PPN dikenakan secara bertahap pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi (dari pabrikan sampai ke peritel).

4. Nonkumulatif

PPN tidak bersifat kumulatif (nonkumulatif) meskipun memiliki karakteristik multistage tax karena PPN mengenal adanya mekanisme pengkreditan pajak masukan. Oleh karena itu, PPN yang dibayar bukan unsur dari harga pokok barang atau jasa.

5. Tarif Tunggal

PPN di Indonesia hanya mengenal satu jenis tarif (single tariff), yaitu sepuluh persen untuk penyerahan dalam negeri dan nol persen untuk penyerahan ekspor.

6. Credit Method/Invoice Method/Indirect Substraction Method

Metode ini mengandung pengertian bahwa pajak yang terutang diperoleh dari hasil pengurangan pajak yang dipungut atau dikenakan pada saat penyerahan barang atau jasa (Pajak Keluaran) dengan pajak yang dibayar pada saat pembelian barang atau penerimaan jasa (Pajak Masukan).

7. Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri

Atas impor Barang Kena Pajak (BKP) dikenakan PPNsedangkan atas ekspor BKP atau JKP tidak dikenakan PPN. Prinsip ini menggunakan prinsip tempat tujuan (destination principle), yaitu pajak dikenakan ditempat barang atau jasa akan dikonsumsi.

8. Consumption Type Value Added Tax (VAT)

Dalam PPN di Indonesia, Pajak Masukan atas pembelian dan pemeliharaan barang modal dapat dikreditkan

Pengusaha Kena Pajak

Berdasarkan pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang PPN dan PPnBM. Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.

Pengusaha Kecil

Menurut pasal 3A ayat 1a dan 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, batasan pengusaha kecil ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 yang berlaku sejak 1 April 2010, pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya. Pengusaha kecil dapat memilih dikukuhkan sebagai PKP.

Sebelumnya batasan pengusaha kecil sudah ditetapkan menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 yang berlaku sejak 1 Januari 2001, dimana batasan pengusaha kecil adalah pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak lebih dari Rp. 360.000.000,00 atau menyerahkan Jasa Kena Pajak tidak lebih dari Rp. 180.000.000,00. Kemudian diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 571/KMK.03/2003 yang berlaku sejak 1 Januari 2004, dimana batasan pengusaha kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP tidak lebih dari RP. 600.000.000,00.

Jika dilihat secara historis, nilai batasan pengusaha kecil mengalami peningkatan cukup signifikan hanya dalam waktu tiga tahun yaitu dari tahun 2001 ke tahun 2004. Akan tetapi sampai dengan tahun ini, peraturan terbaru tentang batasan pengusaha kecil masih sebesar Rp. 600.000.000,00.

Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan

Terkait dengan batasan pengusaha kecil, perlu di lihat juga aturan tentang pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi PKP yang menurut Undang-undang PPh memilih dikenakan pajak dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Pertimbangan diterbitkannya ketentuan ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi PKP yang belum mempunyai sistem pembukuan yang baik sehingga hanya diwajibkan melakukan pencatatan saja. Berikut adalah tabel aturan yang pernah berlaku.

No

Nomor Peraturan

Tanggal Berlaku

Nilai omset

1.

KMK. Nomor 594/KMK.04/1994

1-1-1995

600.000.000,-

2.

KMK. Nomor 553/KMK.04/2000

1-1-2001

600.000.000,-

3.

KMK. Nomor 252/KMK.03/2002

1-1-2002

600.000.000,-

4.

PMK. Nomor 45/PMK.03/2008

1-1-2008

1.800.000.000,-

5.

PMK. Nomor 74/PMK.03/2010

1-4-2010

1.800.000.000,-

Pada saat besarnya omset PKP yang boleh menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan adalah Rp. 600.000.000,-, batasan pengusaha kecil yang diterapkan sebesar Rp. 360.000.000,- untuk penyerahan BKP dan Rp. 180.000.000,- untuk penyerahan JKP diterapkan per 1 Januari 2001,. Kemudian batasan pengusaha kecil diubah sebesar Rp. 600.000.000,-. Pada saat besarnya omset PKP yang boleh menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan berubah menjadi Rp. 1.800.000.000,-, nilai batasan pengusaha kecil yang diterapkan tetap tidak berubah. Seharusnya dengan menggunakan asumsi yang sama dengan penentuan besarnya omset PKP yang boleh menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan, nilai batasan pengusaha kecil juga mengalami peningkatan.

Benchmark Batasan PKP

Untuk mengetahui batasan pengusaha kecil yang seharusnya berlaku saat ini perlu melakukan perbandingan (benchmark) dengan negara-negara lain yang menerapkan Value Added Tax (VAT). Di Negara-negara yang menerapkan VAT ternyata juga menetapkan batasan PKP (VAT threshold). Berikut adalah batasan PKP Negara-negara lain (http://www.tmf-vat.com).

NO

NEGARA

VAT THRESHOLD

KURS KMK

(No. 10/KM.11/2010)

RUPIAH

1

INDONESIA

600.000.000

2

INGGRIS

£70,000

973.933.100

13913.33

3

JEPANG

YEN 10,000,000

968.782.000

9687.82/100 YEN

4

JERMAN

€ 100,000

1.226.141.000

12261.41

5

ITALY

€ 35,000

429.149.350

12261.41

6

PERANCIS

€ 100,000

1.226.141.000

12261.41

7

AUSTRIA

€ 100,000

1.226.141.000

12261.41

8

BELGIA

€ 35,000

429.149.350

12261.41

10

NETHERLANDS

€ 100,000

1.226.141.000

12261.41

11

SPANYOL

€ 35,000

429.149.350

12261.41

12

CHINA*)

CNY 800,000

CNY500,000

1.056.912.000

660.570.000

1321.14

*) VAT Threshold di China dibagi dua, yaitu untuk pengusaha yang memproduksi barang sebesar CNY500,000 sedangkan untuk pengusaha retail sebesar CNY800,000

Dari perbandingan dengan negara-negara lain yang menerapkan VAT, nilai batasan Pengusaha Kecil yang ditetapkan di Indonesia masih terlalu rendah. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian terhadap nilai batasan Pengusaha Kecil di Indonesia.

Penghitungan batasan Pengusaha Kecil.

Untuk menentukan berapa batasan pengusaha kecil yang seharusnya berlaku saat ini, perlu memperhatikan besaran inflasi yang terjadi sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009. Alasan menggunakan data inflasi sebagai data penyesuai karena yang akan ditentukan adalah nilai batasan omset pengusaha dimana salah satu faktor yang mempengaruhi adalah inflasi yang terjadi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi yang terjadi mulai 1 Januari 2004 sampai dengan 1 Januari 2010 adalah 50,54%. Dengan menggunakan angka inflasi ini dapat dihitung nilai batasan pengusaha kecil saat ini adalah Rp. 600.000.000,00 (1 + 50,54%) = Rp. 903.240.000,00

Kesimpulan

Berdasarkan perbandingan (benchmark) dengan negara-negara lain yang menerapkan VAT dan laju inflasi yang tinggi sejak Januari 2004, batasan pengusaha kecil yang berlaku saat ini dinilai sangat rendah dan memberatkan pengusaha kecil.

Saran

Batasan pengusaha kecil seharusnya disesuaikan menjadi Rp. 903.240.000,00 sehingga tidak menimbulkan resistensi masyarakat untuk mendaftarkan diri menjadi wajib pajak.

DAFTAR PUSTAKA

Resmi, Siti,2008, Perpajakan: Teori dan Kasus, Edisi Keempat, Salemba Empat, Jakarta

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=03&notab=3

http://www.detikfinance.com/read/2005/01/03/145427/266283/4/ekonomi/index.html

http://www.tmf-vat.com

http://www.bjreview.com.cn/business/txt/2009-08/03/content_210354.htm

-----------, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

-----------, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai

-----------, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai

-----------, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak
Pertambahan Nilai

Kamis, 03 Juni 2010

KUP 2

2. Wajib Pajak

Istilah wajib pajak sempat menjadi perdebatan serius oleh anggota DPR ketika pembahasan RUU KUP ini. Istilah wajib pajak dianggap kurang pas dengan penyebutan terhadap masyarakat yang membayar pajak. Kemudian muncul istilah pembayar pajak. Yakni mereka masyarakat yang membayar atau menyetor pajak. Di dalam UU No. 28 tahun 2007, pengertian wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sayangnya pengertian dari pembayar pajak sendiri tidak diatur. Apakah yang dimaksud adalah orang yang menyetor pajak atau hanya suruhannya. Tetapi jika menangkap semangatnya, tentunya pembayar pajak adalah masyarakat yang mempunyai kewajiban perpajakan dan menyetor pajaknya ke bank persepsi yang telah ditentukan.
Wajib pajak mempunyai hak dan kewajiban yang diatur dalam UU ini.

Hak Wajib pajak.
Jika melihat pasal-pasal secara keseluruhan dalam UU no. 28 tahun 2007, kita bisa mengelompokkan hak-hak wajib pajak sebagai berikut:
  1. Mengajukan permohonan penghapusan NPWP (pasal 2 angka 6)
  2. Membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan (pasal8)
  3. Mengajukan permohonan restitusi pajak. (pasal 11)
  4. Mengajukan permohonan untuk membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. (pasal 16)
  5. Mengajukan Gugatan terhadap:
  • pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
  • keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
  • keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
  • penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak. (pasal 23 ayat 2)
6. Mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu: SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB, atau pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (pasal 25-26A)
7. Mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. (pasal 27)
8. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk : (pasal 36)
  • mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  • mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
  • mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
  • membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1) penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2) pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

Kewajiban Wajib pajak

  1. wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak untuk mendapatkan NPWP. Sedangkan bagi pengusaha wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (pasal 2).
  2. Wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan dan SPT Masa) dengan benar, lengkap, dan jelas, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak (pasal 3-4)
  3. Wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas Negara (pasal 10 dan 12)
  4. Wajib menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan wp badan (pasal 28)
  5. Jika diperiksa wajib: (pasal 29)
  • memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
  • memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
  • memberikan keterangan lain yang diperlukan.

Bersambung…………………………………………………………………………….

Kamis, 29 April 2010

REVALUASI AKTIVA TETAP (TINJAUAN MENURUT AKUNTANSI, PAJAK DAN PENILAIAN)

Standar Akuntansi Keuangan mengatur masalah penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap di PSAK No. 16 (Aktiva tetap). Pada dasarnya Penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap tidak diperkenankan karena SAK menganut penilaian aktiva berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah. Dalam hal ini laporan keuangan harus menjelaskan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan di dalam penyajian aktiva tetap serta pengaruh daripada penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan. Selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aktiva tetap dibukukan dalam akun modal dengan nama Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap. Jika aktiva tetap dicatat pada jumlah yang dinilai kembali hal berikut harus diungkapkan:
• Dasar yang digunakan untuk menilai kembali aktiva
• Tanggal efektif penilaian kembali
• Nama nilai independen
• Hakekat setiap petunjuk yang digunakan untuk menentukan biaya pengganti
• Jumlah tercatat setiap jenis aktiva tetap
• Surplus penilaian kembali aktiva tetap.
Di dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pasal 19 menyatakan bahwa Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.
Atas selisih penilaian kembali aktiva diterapkan tarif pajak tersendiri dengan keputusan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Selanjutnya penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap ini diatur dalam peraturan perpajakan sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 12/PJ/2009 tentang Tatacara Pengajuan Permohonan dan Pengadministrasian Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.31/2002 Tentang Pengantar Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002 Tanggal 28 Nopember 2002 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-519/PJ./2002 Tanggal 2 Desember 2002 Tentang Tatacara dan Prosedur Pelaksanaan Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.
Point-point yang terdapat pada aturan perpajakan adalah sebagai berikut:
1. Yang bisa melakukan penilaian kembali aktiva tetap adalah Perusahaan. Yang dimaksud perusahaan yaitu Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali dan tidak termasuk Wajib Pajak yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat. Jadi wajib pajak orang pribadi tidak bisa melakukan penilaian kembali untuk tujuan perpajakan.
2. Yang menjadi obyek penilaian kembali aktiva tetap adalah seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
3. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan.
4. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah.
5. Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen).
6. Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan.
7. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali.
8. Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut.
9. Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.
10. Dalam hal Perusahaan melakukan pengalihan aktiva tetap berupa:
a. Aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru;
b. Aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 (sepuluh) tahun,
maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi 10% (sepuluh persen).
11. Pengenaan PPh final sebesar 10% tidak berlaku bagi:
a. Pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan
b. Pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang mendapat persetujuan, atau
c. Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki lagi.

Peranan Profesi Penilai
Profesi penilai baik penilai independen maupun pemerintah memiliki peran di dalam melakukan penilaian kembali aktiva tetap ini. Hal ini telah diatur dalam pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan. Profesi penilai di Indonesia memiliki organisasi yang bernama MAPPI (Masyarakat Profesi Penilai Indonesia). Seorang penilai harus memiliki kualifikasi, kompetensi, dan pengalaman melakukan kegiatan penilaian, sesuai dengan keahlian dan profesionalisme yang dimiliki, serta mengacu kepada SPI (Standar Penilaian Indonesia), KEPI dan hal lainnya yang terkait dengan kegiatan penilaian sesuai ketentuan pemerintah.
Ruang lingkup kegiatan penilai meliputi:
a. Penilaian untuk menentukan nilai ekonomis terhadap harta benda berwujud maupun yang tidak berwujud yaitu Penilaian Aktiva Tetap (Fixed Assets Valuation) dan Penilaian Usaha (Business Valuation termasuk goodwill, trademark dan hak paten); dan atau
b. Penilaian Proyek (project Appraisal); dan atau
c. Penilaian Kelayakan Teknis (Technical Appraisal); dan atau
d. Penilaian dan Konsultasi Pengembangan (Development Consultacy) termasuk Studi Kelayakan Proyek (Project Feasibility Study); dan atau
e. Penilaian dan pengawasan proyek (Project Monitoring); dan atau
f. Penilaian dan Konsultasi Investasi (Investment Arranger and Advisory Services); dan atau
g. Penilaian dan Teknologi Informasi di bidang properti (Property Information System); dan atau
h. Penilaian Konsultasi Property (Property Consultacy) termasuk kegiatan Konsultasi keuangan properti (Financial Property Advisory Services); dan atau
i. Pengelolaan Harta Benda (Property Management).